Pengalamanku di Kegiatan KMTEDI Mengabdi #2

          Mengabdi atau kegiatan pengabdian masyarakat di suatu daerah yang jauh dari kehidupan kampus sering diadakan oleh mahasiswa. Malah bisa dibilang kalau kegiatan tersebut wajib dilakukan oleh mahasiswa.
      Saya Dwi Ariyanti, salah satu anggota Divisi Sosial Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro dan Informatika. Pada tanggal 09-10 Desember 2016, saya turut serta dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Dawung, Serut, Gedangsari, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Lokasinya dekat dengan perbatasan Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Daerah Jawa Tengah yang paling dekat dengan lokasi itu adalah Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Lokasi itu tak begitu jauh dari kampus UGM, tak begitu jauh pula dari rumah saya yang ada di Klaten. Hehe..
           Lokasinya yang di daerah pegunungan berpengaruh pada akses jalan menuju kesana. Kebetulan kami berangkat dari kampus sekitar pukul 17.00 WIB, sampai di lokasi pukul 19.00 lebih karena jalan Jogja-Solo macet dan masuk di daerah Gedangsari dari arah Gantiwarno Klaten sangat gelap, tidak ada penerangan jalan di sepanjang hamparan sawah, ditambah dengan jalan yang naik turun, berkelok dan curam. Tempat yang kami tuju pertama kali adalah Masjid Al-Jannah, sesampainya di sana, kami disambut oleh masyarakat. Mulai dari anak-anak hingga orangtua berkumpul di masjid itu, menurut saya mereka berkumpul sejak sholat Isya’. Setelah kulonuwun dengan warga dan sholat isya’, kami langsung membuka forum itu. Kami dan semua warga berkenalan, diikuti beberapa sambutan, lalu panitia mulai memaparkan kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan.
         Inti dari acara pengabdian ini berada di hari Sabtu, 10 Desember 2016. Setelah semalam per 2 orang pengabdi tidur di rumah warga, keesokan harinya para para pengabdi membantu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemilik rumah alias orangtua asuhnya. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat sana adalah sebagai petani. Mereka bisa mempunyai banyak petak sawah walau orang yang kurang mampu. Hal itu dipengaruhi oleh jumlah kepala keluarga yang sedikit. Sehingga tidak heran kalau rumah-rumah disana sangat jarang. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa beratus meter, hanya ada beberapa rumah yang jaraknya dekat.
         Pekerjaan di sawah itu musiman, tidak setiap hari petani harus ke sawah mengurus tanamannya. Waktu itu, disana tidak musim pekerjaan di sawah. Para warga ke sawah tidak mengurus tanamannya namun hanya mencari rumput untuk pakan ternak sapi.
      Tidak ada jaringan seluler di daerah itu. Sangat susah untuk mencari sinyal untuk apapun jenis operatornya. Kami yang terbiasa hidup dengan koneksi internet yang lancarpun menjadi merasa  bahwa ponsel kami sangat tidak berguna ketika disana. Pada siang hari ketika tidak ada kerjaan di rumah, saya dan teman saya pamit untuk jalan-jalan di sekitar desa sembari mencari sinyal. Beberapa ratus meter dari rumah, akhirnya kami mendapat sinyal sekaligus koneksi internet. Lokasinya  dekat dengan sumur milik salah seorang warga yang airnya digunakan untuk keperluan memasak. Di lokasi itu, saya bertemu dengan salah seorang warga. Saya mencoba menyapa, tak banyak berkenalan namun kami bisa ngobrol cukup banyak. Saya ngobrol dengan Bapak tersebut dengan menggunakan bahasa Jawa, satu kalimat yang saya ingat dari beliau adalah “Urip neng gunung ki cerak karo watu, adoh soko ratu” dalam bahasa Indonesia “Hidup di gunung itu dekat dengan batu, jauh dari ratu”. Saya bisa menangkap apa maksud kalimat tersebut, namun saya mengartikannya dalam berbagai hal, batu diartikan menjadi sesuatu yang kurang enak dan ratu diartikan menjadi sesuatu yang memuaskan.
          Masih menyangkut dengan kalimat bapak yang saya temui, saya menjadi penasaran kenapa Ibu asuh saya yang sebenarnya berasal dari daerah yang apa-apa mudah mau tinggal di gunung, ijazah SMK tidak terpakai, ekonomi susah, dan hidup di daerah yang Islam minoritas. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya dan Ibu menjawabnya dengan ramah. Jawaban yang dapat saya tangkap intinya Ibu itu mau tinggal di gunung dengan semua konsekuensi karena beliau ikut suami, suami beliau asli warga sana. Selain itu beliau juga lebih memilih kepentingan sosial daripada kepentingan ekonomi. Beliau menyadari bahwa hidup di gunung memang susah, harus mengantar anak sekolah yang jauh, mencari air, lingkungan masih tergolong agak kumuh, sampai mencari uang yang susah, namun beliau senang berada di masyarakat gunung yang ramah tamah, suka tolong-menolong, gotong royong, dan guyup rukun.
       Itulah sepenggal pengalaman saya berkunjung di desa pegunungan. Semoga sedikit amanatnya menjadikan kita senantiasa bersyukur dengan apapun keadaan kita.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »